Selasa, 09 Oktober 2007

Revolusi Oktober 2007 (2) : Wajan Itu Menghubungkan Solo Dengan Dunia

Oleh : Bambang Haryanto




Lorong Gelap Lowell. Masa-masa suram sering diidentikkan dengan lorong yang gelap. Masa krisis ekonomi pada tahun 1997, yang disusul berkah dengan tumbangnya rezim Orde Baru, sering menjadi contoh bagi bangsa Indonesia ketika terjebak dalam lorong gelap itu. Untuk selalu menanamkan sikap optimistis, maka sering pula hadir bersamanya ucapan bahwa akan selalu muncul sinar pada ujung lorong yang gelap itu. Penyair Amerika Serikat, Robert Lowell (1917–1977) menyeletuk tentangnya :

If we see light at the end of the tunnel,
It's the light of the oncoming train.

Apabila kita melihat sinar di ujung lorong, itulah sinar dari lokomotif kereta api yang melaju menuju arah kita. Ucapan Lowell, yang jenaka itu, menyeruak di kepala saat saya melihat rangkaian kereta api. Di sore hari, 1 Oktober 2007, di Jalan Slamet Riyadi, di depan kompleks Taman Sriwedari, Solo. Inilah jalan utama kota ini di mana pada sisi sebelah selatan jalan terdapat rel kereta api, memanjang dari Stasiun Sangkrah di Timur dan menuju Stasiun Purwosari, di ujung barat.

Rel ini setiap hari dilalui rangkaian kereta feeder, pengumpan, yang berangkat dari kota saya, Wonogiri. Melalui Sukoharjo, kemudian Sangkrah, guna membawa penumpang-penumpang untuk bergabung dengan yang lainnya di Purwosari. Kemudian dilanjutkan dengan rangkaian kereta lainnya untuk menuju Jakarta.

Di masa kecil saya, tahun 60-an, ketika naik kereta api dari Wonogiri dan saat kereta hendak berhenti di Taman Sriwedari, selalu memunculkan sensasi tersendiri. Saat itu lokomotif memekikkan peluitnya, disusul terdengar dengus yang keras, lalu menyemburkan asap dan juga rinai cipratan air yang menyapu wajah-wajah kami.

“Oh, kami sudah sampai di Sriwedari,” desis gembira saya saat itu. Oh, Sriwedari. Kebun raja. Inilah lokasi kebun binatang. Tempat rekreasi idaman anak-anak segenerasi saya, saat itu. Tempat panggung wayang orang. Rusman dan Darsi. Sang Gatutkaca dan Pergiwati. Juga tempat menara, di bawahnya terdapat kandang burung merak, yang memancarkan cahaya lampu sorot menyapu kota, pertanda pasar malam di Sriwedari telah tiba.

Ibu saya, Sukarni Kastanto Hendrowiharso, pernah mengeluh, “kita ini seperti burung kasuari.” Ia berkomentar demikian sambil menampi beras jatah, karena ayah saya seorang prajurit TNI Angkatan Darat. Ibu mengajak saya untuk menjumputi kerikil-kerikil lembut yang bercampur dengan beras itu. Ketika di kebun binatang Sriwedari dan bisa menemukan burung kasuari, saya baru tahu arti ucapan ibu tadi. Beliau bercerita, konon untuk memudahkan pencernaannya, burung-burung kasuari sengaja memakan kerikil-kerikil itu !


Hari Habitat Nasional. Kereta api yang saya lihat di sore hari, 1 Oktober 2007 di depan kompleks Taman Sriwedari, Solo, akan digunakan sebagai perangkat upacara peresmian jalur untuk pejalan kaki, city walk, kota Solo. Upacaranya dilaksanakan di malam hari, bertepatan dengan Hari Habitat Nasional.

Kereta dengan rangkaian dua gerbong pengangkut batu bara yang didandani sebagai bak terbuka, ditambah satu gerbong penumpang kelas ekonomi, akan mengangkut Walikota Solo Jokowi beserta undangan lainnya. Berangkat dari Sriwedari, berjalan ke arah barat untuk berhenti di Loji Gandrung, kediaman resmi Walikota Solo. Setelah semua tamu naik, kereta kemudian terus ke barat untuk berhenti di rel bengkong Purwosari. Rombongan akan berjalan kaki ke arah timur. Di sebelah barat perempatan Gendengan telah ditata meja dan kursi, tempat untuk resepsi.

Dengan bantuan SoloNet, saya mewakili Epistoholik Indonesia dan Mayor Haristanto dari Republik Aeng-Aeng, ikut menimbrung perhelatan itu untuk menggelar kampanye. Tentu saja, kampanye menominasikan tujuh alam Indonesia sebagai The New 7Wonders of Nature. Lokasi lapak kami persis di depan Bank Mega.

Satu meja, beberapa kursi dan satu laptop yang terkoneksi dengan teknologi WAV LAN (?) berupa wajan penangkap sinyal melalui gelombang radio. Praktis, kami yang berada di pinggiran jalan Slamet Riyadi Solo itu telah terhubung dengan dunia. Itulah keajaiban Internet.

Di sebelah kami tersedia kereta gerobak hik, penjual minuman dan makanan khas Solo. Sambil menyeruput teh jahe, mengganyang juadah bakar, dan lewat Internet kami dari Solo berusaha menyapa dunia. Itulah perwujudan awal revolusi Oktober kami, dari kota Solo ini. Ketika pemerintah kita tidak tahu atau tidak hirau tentang jajak pendapat berskala global mengenai The New 7Wonders of Nature itu, kami yang berusaha memulai. Dengan meluncurkan sebuah epidemi sosial untuk mengedepankan khasanah alam Indonesia untuk semakin dikenal di dunia !


Ketemu putra Begawan Polah. Dengan dibantu Ariseno dari SoloNet dan Ayu Permata Pekerti, mahasiswa Arsitektur UNS, kami membagi-bagikan brosur kepada audiens yang mengikuti resepsi. Atau pun kepada mereka yang lewat. Tidak terlalu mudah untuk mempromosikan hal baru semacam ini.

Saat itu, oleh Mayor saya dikenalkan dengan anak muda bernama Galih. Ia ditemani istrinya. Galih adalah mahasiswa S-2 Musik di ISI Solo. Ia sering tampil bersama kelompoknya dalam bermain perkusi. Ketika Mayor menambahkan data bahwa Galih ini putranya “begawan polah” Suprapto Suryodarmo dari Padepokan Lemah Putih Solo, kenangan masa lalu segera berparade di kepala saya.

Saya mengenal Mas Prapto sejak tahun 1977-an. Ketika itu saya menjadi aktivis kesenian di Solo. Ketika Teguh Karya membuat film November 1828 di Sawahan, Bantul pada tahun 1978, Mas Prapto memberi saya “beasiswa” untuk ikut belajar tentang film di lokasi tersebut. Saat itu saya bisa berkenalan dengan Labes Widar, dosen film di IKJ dan juga Suprantiyo Jarot atau Yoyok, bagian artistik dan adik dari Slamet Raharjo, aktor dan sutradara film jempolan kita. Tahun 1982, saya ketemu lagi dengan Yoyok saat ia syuting film di kampus saya, Fakultas Sastra Universitas Indonesia di Rawamangun, Jakarta.

Putri dari Mas Prapto, Melati Suryadarmo yang kini berkreasi tari di Jerman dan Bagaskoro, adik lelakinya, adalah murid saya di Workshop Melukis Anak-Anak & Remaja, Gallery Mandungan, Muka Kraton Surakarta. Galih adalah adiknya Bagaskoro.


Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket


Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket


Ketika itu ada serombongan pria berseragam unik, menjaga rute kereta api di dekat lapak kami, saya pikir mereka itu pasukan dari Kraton Solo. Ternyata karyawan PDAM Solo, yang kalau dalam tata pemerintahan desa jaman dulu disebut sebagai jogo tirto, penjaga irigasi yang mengatur pembagian air untuk sawah milik petani. Mereka saya dekati, dan ternyata tertarik pula untuk ikut pula berkampanye (foto).

Kami kukut atau menutup lapak ketika jam sudah melewati pukul sepuluh malam. Satu hal yang sedikit membuat saya menyesal adalah kejadian saat mengikuti kegiatan Republik Aeng-Aeng di rumahnya maestro keroncong Gesang. Saya melupakan satu hal penting : tidak menyiapkan selebaran siaran pers tentang kampanye saya itu. Padahal saat itu berkumpul banyak sekali wartawan kota Solo, baik dari media cetak ataupun elektronik. Kesalahan ini tidak akan saya ulangi lagi di masa depan, karena wartawan adalah penjaja yang baik untuk menyebarluaskan suatu epidemi sosial.

Obrolan tentang penjaja itu, saya teringat penggambaran Malcolm Gladwell dalam bukunya Tipping Point : How Little Things Can Make a Big Different (2000) tentang seorang Tom Gau. Ia disebutnya sebagai kelompok penjaja atau penjual yang berperan penting dalam menyebarkan epidemi sosial.

Tom Gau menyebut dirinya, “Barangkali saya orang paling optimistik yang pernah ada dalam benak Anda.Silakan pilih orang optimistik yang pernah Anda kenal. Pangkatkan dengan angka seratus. Itulah saya. Anda tahu sebabnya ? Kekuatan dari pikiran positif mampu mengatasi banyak hal. Banyak sekali.”

Seorang penjaja haruslah seorang yang optimistik.
Saya setuju Anda, Tom Gau !


(Bersambung ke : Revolusi Oktober 2007 (3) : Weber, Wisdom of Crowds dan Kita).


7i

Selasa, 02 Oktober 2007

Revolusi Oktober 2007 (1) : Ikut Merayakan 90 Tahun Gesang di Solo

Oleh : Bambang Haryanto



Bulan tegang. Penulis Inggris Doris Lessing dalam novelnya Martha Quest (1952) pernah berkomentar tentang bulan Oktober. Menurutnya, Oktober adalah bulan yang ambigu, bulan penuh ketegangan, dan bulan yang segera mudah berlalu.

Bagi bangsa kita, Oktober adalah bulan yang masih menyisakan misteri dan teka-teki. Tentu saja terkait tragedi tahun 1965, ketika huru-hara politik yang terjadi mengharu biru bangsa ini saat itu. Goresannya masih terasa mengunjam sampai sekarang.

Dalam kenangan saya, juga melibatkan sungai legendaris : Bengawan Solo.

Oh, Bengawan Solo. Terkait dengan penyelenggaraan Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007, demi masa depan sungai yang bermasalah ini, saya telah mengusulkan agar tanggal 9 Juni didaulat sebagai Hari Peduli atau Hari Cinta Bengawan Solo.

Tetapi menguak kenangan masa lalu tentang Bengawan Solo di tahun 1965-1966, ketika sebagai anak kelas 5 SD di Wonogiri, saat itu saya sering mendengar cerita bahwa ikan-ikan yang berhasil dijaring dari sungai Bengawan Solo itu memunculkan horor tersendiri. Ketika dikonsumsi, pembelinya sering menemukan potongan-potongan tubuh manusia di perutnya. Itulah tubuh-tubuh warga Indonesia yang “diamankan” dalam huru-hara politik saat itu.

Saya juga jadi saksi di tahun 1966, ketika terjadi banjir besar Bengawan Solo, yang juga menenggelamkan sebagian besar kota Solo. Mungkin itu ritual alam untuk membersihkan residu peristiwa yang terjadi setahun sebelumnya, di alirannya. Peristiwa besar itu, baik pembantaian manusia dan banjir besar itu, mungkin karena kita ingin melupakannya, sehingga tidak pernah ditorehkan dalam bentuk lagu.

Lagu utama yang ada tentang Bengawan Solo, adalah lagu yang digubah pada masa Perang Dunia II. Oleh Gesang Martohartono (90). Dan pada hari Selasa, 1 Oktober 2007, saya ikut menyaksikan hari ulang tahun Gesang itu dirayakan oleh puluhan anak-anak Solo.

Sedari murid-murid TK Primagama Solo, SD Al-Firdaus dan SD Pangudi Luhur sampai SMA St. Joseph, Solo. Mereka bergantian mengadakan konser dan pembacaan puisi di depan Sang Maestro Keroncong, siang itu.


Acara unik yang digagas dan dieksekusi oleh Mayor Haristanto dari Republik Aeng-Aeng Solo, menghadirkan keharuan. Mengurangi rasa gersang siang itu. Karena Solo yang juga ketularan fenomena pemanasan global membuat jalanan di depan rumah Jl. Bedoyo 5 Kemlayan, domisili Gesang, udara panas siang itu memang terasa menyengat bagi kulit anak-anak.

Untung sekelompok ibu-ibu berprakarsa mengembangkan payungnya, menghadirkan keteduhan dan melindungi anak-anak itu dari sengatan sinar matahari. Totalitasnya, hadirnya keteduhan, rasa cinta, hormat dan keharuan mendalam untuk memperingati hari bersejarah dan mensyukuri karunia umur panjang Sang Gesang.


Terbaik Bagimu. Konser dibuka oleh alunan harmoni belasan pianika yang nampak inosen, flute dan organ, suguhan anak-anak SD Pangudi Luhur Solo. Mereka menyajikan “Bengawan Solo” (1940) dan “Tirtonadi” (1942), keduanya ciptaan Gesang. Kemudian diikuti oleh semua yang hadir, Cindy Nirmala, murid kelas V, bersama-sama menyanyikan lagu “Terbaik Bagimu,” lagu manis yang dipopulerkan Ada Band dan Gita Gutawa. Gesang yang berbaju batik merah cerah, nampak berkaca-kaca.

Pembacaan puisi yang sekaligus doa, dilakukan oleh Laras, murid TK Primagama, Solo. Juga dilakukan penyerahan poster replika halaman pertama Harian Kompas yang memajang foto saat Gesang tergolek di rumah sakit, dan sedang didoakan oleh Noval, anak TK.

Kini, pelaku sejarah yang sama, dengan memakai seragam TK yang sama pula, walau kini dirinya sudah menjadi murid SD, yaitu Noval, yang menyerahkan replika itu untuk Gesang. Demikianlan, informasi bakal menjadi lebih berguna dan bermakna bila dibagi-bagikan dan disebarluaskan !

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Gantian kemudian, siswa–siswi SMA Pangudi Luhur St. Joseph Solo (foto), tampil. Berbeda dengan gambaran mengenai selera musik anak-anak muda masa kini, sungguh mengejutkan, ternyata mereka memilih menyajikan musik keroncong. “Di sekolah kami banyak kelompok musik,” kata Lintang Rembulan yang Wakil Ketua OSIS SMA St. Joseph. “Kami memilih keroncong,” tutur lanjut pemain biola yang berkacamata lembut itu dan putri kedua Lurah Kadipiro Solo ini.

Dengan penyanyi Dian Paramita, mereka terampil menghadirkan nomor dengan cengkok keroncong yang kental, dalam lagu “Kota Solo.” dan lagu heroik, “Jembatan Merah” (1943). Malamnya, kelompok pelajar bermusik keroncong ini, dengan berkendaraan mobil unit siaran luar dari SoloRadio, berkeliling kota Solo. Aktivitas ini berbarengan dengan acara peresmian city walk Kota Solo, yang bertepatan pula dengan peringatan Hari Habitat Nasional, 1 Oktober 2007.


Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket


Ketika perhelatan berkesan itu usai, kami sempat berfoto di depan kamera digitalnya Ayu Permata Pekerti, mahasiswa Arsitektur UNS Solo. Dalam gambar nampak, dari kiri, Mayor Haristanto, Bambang Haryanto, Gesang dan Lintang Rembulan.

“Kota Solo, kota penuh kenang-kenangan,” begitu bunyi lirik salah satu lagunya Gesang. Bagi saya, kenangan apa yang muncul dari kota ini ? Kota ini adalah kota kelahiran saya. tahun 1973 sampai tahun 1980, saya sempat berkiprah sebagai aktivis kesenian di kota ini pula. Antara lain menyelenggarakan Workshop Melukis Anak-Anak & Remaja, Gallery Mandungan, Muka Kraton Surakarta.

Ketika siang saya bisa menyaksikan acara memperingati hari ulang tahun Gesang yang ke-90 tahun, malamnya saya mencoba mempromosikan dan berkampanye demi mendorong keikutsertaan warga Indonesia dalam jajak pendapat The New 7 Wonders of Nature.

Saya memimpikan Solo sebagai titik ledak awal “revolusi hijau” dan ramah ini di Indonesia, dengan menanamkan sikap mental bahwa dewasa ini kita telah selalu terkait, baik dalam pola pikir atau pun aksinya, sebagai warga dunia. Dengan bersenjatakan Internet, kita bisa melakukannya !


(Bersambung ke : Revolusi Oktober 2007 (2) : Wajan Itu Menghubungkan Solo Dengan Dunia).

7i