Selasa, 02 Oktober 2007

Revolusi Oktober 2007 (1) : Ikut Merayakan 90 Tahun Gesang di Solo

Oleh : Bambang Haryanto



Bulan tegang. Penulis Inggris Doris Lessing dalam novelnya Martha Quest (1952) pernah berkomentar tentang bulan Oktober. Menurutnya, Oktober adalah bulan yang ambigu, bulan penuh ketegangan, dan bulan yang segera mudah berlalu.

Bagi bangsa kita, Oktober adalah bulan yang masih menyisakan misteri dan teka-teki. Tentu saja terkait tragedi tahun 1965, ketika huru-hara politik yang terjadi mengharu biru bangsa ini saat itu. Goresannya masih terasa mengunjam sampai sekarang.

Dalam kenangan saya, juga melibatkan sungai legendaris : Bengawan Solo.

Oh, Bengawan Solo. Terkait dengan penyelenggaraan Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007, demi masa depan sungai yang bermasalah ini, saya telah mengusulkan agar tanggal 9 Juni didaulat sebagai Hari Peduli atau Hari Cinta Bengawan Solo.

Tetapi menguak kenangan masa lalu tentang Bengawan Solo di tahun 1965-1966, ketika sebagai anak kelas 5 SD di Wonogiri, saat itu saya sering mendengar cerita bahwa ikan-ikan yang berhasil dijaring dari sungai Bengawan Solo itu memunculkan horor tersendiri. Ketika dikonsumsi, pembelinya sering menemukan potongan-potongan tubuh manusia di perutnya. Itulah tubuh-tubuh warga Indonesia yang “diamankan” dalam huru-hara politik saat itu.

Saya juga jadi saksi di tahun 1966, ketika terjadi banjir besar Bengawan Solo, yang juga menenggelamkan sebagian besar kota Solo. Mungkin itu ritual alam untuk membersihkan residu peristiwa yang terjadi setahun sebelumnya, di alirannya. Peristiwa besar itu, baik pembantaian manusia dan banjir besar itu, mungkin karena kita ingin melupakannya, sehingga tidak pernah ditorehkan dalam bentuk lagu.

Lagu utama yang ada tentang Bengawan Solo, adalah lagu yang digubah pada masa Perang Dunia II. Oleh Gesang Martohartono (90). Dan pada hari Selasa, 1 Oktober 2007, saya ikut menyaksikan hari ulang tahun Gesang itu dirayakan oleh puluhan anak-anak Solo.

Sedari murid-murid TK Primagama Solo, SD Al-Firdaus dan SD Pangudi Luhur sampai SMA St. Joseph, Solo. Mereka bergantian mengadakan konser dan pembacaan puisi di depan Sang Maestro Keroncong, siang itu.


Acara unik yang digagas dan dieksekusi oleh Mayor Haristanto dari Republik Aeng-Aeng Solo, menghadirkan keharuan. Mengurangi rasa gersang siang itu. Karena Solo yang juga ketularan fenomena pemanasan global membuat jalanan di depan rumah Jl. Bedoyo 5 Kemlayan, domisili Gesang, udara panas siang itu memang terasa menyengat bagi kulit anak-anak.

Untung sekelompok ibu-ibu berprakarsa mengembangkan payungnya, menghadirkan keteduhan dan melindungi anak-anak itu dari sengatan sinar matahari. Totalitasnya, hadirnya keteduhan, rasa cinta, hormat dan keharuan mendalam untuk memperingati hari bersejarah dan mensyukuri karunia umur panjang Sang Gesang.


Terbaik Bagimu. Konser dibuka oleh alunan harmoni belasan pianika yang nampak inosen, flute dan organ, suguhan anak-anak SD Pangudi Luhur Solo. Mereka menyajikan “Bengawan Solo” (1940) dan “Tirtonadi” (1942), keduanya ciptaan Gesang. Kemudian diikuti oleh semua yang hadir, Cindy Nirmala, murid kelas V, bersama-sama menyanyikan lagu “Terbaik Bagimu,” lagu manis yang dipopulerkan Ada Band dan Gita Gutawa. Gesang yang berbaju batik merah cerah, nampak berkaca-kaca.

Pembacaan puisi yang sekaligus doa, dilakukan oleh Laras, murid TK Primagama, Solo. Juga dilakukan penyerahan poster replika halaman pertama Harian Kompas yang memajang foto saat Gesang tergolek di rumah sakit, dan sedang didoakan oleh Noval, anak TK.

Kini, pelaku sejarah yang sama, dengan memakai seragam TK yang sama pula, walau kini dirinya sudah menjadi murid SD, yaitu Noval, yang menyerahkan replika itu untuk Gesang. Demikianlan, informasi bakal menjadi lebih berguna dan bermakna bila dibagi-bagikan dan disebarluaskan !

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Gantian kemudian, siswa–siswi SMA Pangudi Luhur St. Joseph Solo (foto), tampil. Berbeda dengan gambaran mengenai selera musik anak-anak muda masa kini, sungguh mengejutkan, ternyata mereka memilih menyajikan musik keroncong. “Di sekolah kami banyak kelompok musik,” kata Lintang Rembulan yang Wakil Ketua OSIS SMA St. Joseph. “Kami memilih keroncong,” tutur lanjut pemain biola yang berkacamata lembut itu dan putri kedua Lurah Kadipiro Solo ini.

Dengan penyanyi Dian Paramita, mereka terampil menghadirkan nomor dengan cengkok keroncong yang kental, dalam lagu “Kota Solo.” dan lagu heroik, “Jembatan Merah” (1943). Malamnya, kelompok pelajar bermusik keroncong ini, dengan berkendaraan mobil unit siaran luar dari SoloRadio, berkeliling kota Solo. Aktivitas ini berbarengan dengan acara peresmian city walk Kota Solo, yang bertepatan pula dengan peringatan Hari Habitat Nasional, 1 Oktober 2007.


Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket


Ketika perhelatan berkesan itu usai, kami sempat berfoto di depan kamera digitalnya Ayu Permata Pekerti, mahasiswa Arsitektur UNS Solo. Dalam gambar nampak, dari kiri, Mayor Haristanto, Bambang Haryanto, Gesang dan Lintang Rembulan.

“Kota Solo, kota penuh kenang-kenangan,” begitu bunyi lirik salah satu lagunya Gesang. Bagi saya, kenangan apa yang muncul dari kota ini ? Kota ini adalah kota kelahiran saya. tahun 1973 sampai tahun 1980, saya sempat berkiprah sebagai aktivis kesenian di kota ini pula. Antara lain menyelenggarakan Workshop Melukis Anak-Anak & Remaja, Gallery Mandungan, Muka Kraton Surakarta.

Ketika siang saya bisa menyaksikan acara memperingati hari ulang tahun Gesang yang ke-90 tahun, malamnya saya mencoba mempromosikan dan berkampanye demi mendorong keikutsertaan warga Indonesia dalam jajak pendapat The New 7 Wonders of Nature.

Saya memimpikan Solo sebagai titik ledak awal “revolusi hijau” dan ramah ini di Indonesia, dengan menanamkan sikap mental bahwa dewasa ini kita telah selalu terkait, baik dalam pola pikir atau pun aksinya, sebagai warga dunia. Dengan bersenjatakan Internet, kita bisa melakukannya !


(Bersambung ke : Revolusi Oktober 2007 (2) : Wajan Itu Menghubungkan Solo Dengan Dunia).

7i

Tidak ada komentar: